LK Soroti Tradisi dan Hukum Adat dalam Persepektif Muhammadiyah
17/06/2016 06:24
PEMBELAJARAN KARAWITAN DI SEKOLAH
DALAM RANGKA PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
Oleh : Kamiran
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
ABSTRAK
Pembelajaran karawitan merupakan salah satu aktivitas pendidikan yang semakin jarang dilaksanakan di sekolah-sekolah umum. Budaya-budaya yang bersifat lokal kurang mendapat perhatian dari para pengelola dan penentu kebijakan pendidikan. Suatu ketika karawitan digunakan sebagai materi pembelajaran di sekolah karena telah terjadi pemahaman bahwa karawitan memiliki karakteristik yang penuh dengan nilai-nilai kepribadian bangsa sehingga bermanfaat bagi kehidupan. Terkait dengan pendidikan karakter bangsa maka makalah ini akan membicarakan tentang karakter apa yang dapat dibentuk melalui pembelajaran karawitan. Secara umum ada tiga hal yang dapat digunakan untuk mengetahui karakter bangsa yang dibentuk melalui pembelajaran karawitan yaitu aspek pengetahuan, praktek atau peragaan dan perasaan atau emosional. Ketiga aspek tersebut terdapat pada materi pembelajaran karawitan maupun pendidikan karakter bangsa, sehingga antara karawitan dan karakter bangsa merupakan dua materi pendidikan yang relevan.
Kata kunci : pembelajaran karawitan, pendidikan karakter bangsa.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kebijakan terhadap karawitan sebagai materi pembelajaran di sekolah sudah diawali sejak lahirnya reformasi pendidikan yang tertuang dalam undang-undang otonomi daerah. Peluang ini diberikan kepada wilayah daerah propinsi dan kabupaten atau kota untuk mengelola pendidikan secara desentralisasi. Menurut Tilaar (2002:20) desentralisasi pendidikan berhubungan dengan tiga hal, yaitu:1) pengembangan masyarakat demokratis, 2) pengembangan sosial kapital dan 3) peningkatan daya saing. Ketiga hal tersebut dapat digunakan sebagai rambu-rambu, acuan dan alasan pelaksanaan pendidikan karawitan yang berada dalam lingkup desentraslisasi di kabupaten atau kota. Mengapa pada kenyataannya belum bisa dilaksanakan dengan baik.
Munculnya undang-undang otonomi daerah tentang desentralisasi pendidikan dan undang-undang sistem pendidikan nasional yang pada intinya bertujuan membangun seluruh bangsa dan manusia Indonesia seutuhnya ternyata dalam implementasinya belum bisa dirasakan. Penempatan karawitan sebagai salah satu alternatif mata pelajaran di sekolah umum tergantung kepada stakeholder pendidikan. Para stakeholder pendidikan ternyata masih terkesan ragu bahkan tidak mau peduli terhadap pembelajaran kesenian karawitan yang sebenarnya merupakan asset budaya daerah. Pernyataan serupa dapat ditemukan pada kutipan berikut :
Pendidikan seni pada hakekatnya memiliki kekuatan yang belum sepenuhnya dapat diimplementasikan baik di sektor pendidikan formal maupun non formal. Peran multibudaya, multilingual dan multidimensional belum mampu memberikan pencerahan sepenuhnya dalam pendidikan nasional. Hal itu terjadi karena para penentu kebijakan, perencana dan pelaku pendidikan belum memahami peran seutuhnya dari pendidikan seni bagi pembentukan karakter individu dan berbangsa (Wardani, 2006:17).
Pada kutipan di atas dapat ditemukan tiga hal terkait dengan pembelajaran karawitan: pertama, para penentu kebijakan, perencana dan pelaku pendidikan belum memahami peran pendidikan seni; kedua, tentang perlunya pendidikan kesenian di sekolah dan ketiga, tentang pembentukan karakter individu dan bangsa. Apabila persoalan kebijakan seperti ini terus menerus terjadi maka akan berdampak pada bangsa Indonesia kehilangan jati diri sebagai bangsa yang terlanjur disebut sebagai bangsa yang berbudaya dan bermartabat. Pada kondisi-kondisi yang demikian membuktikan bahwa esensi fungsi karawitan sebagai media pendidikan belum terwadahi.
Produk pembelajaran karawitan tidak hanya berfungsi untuk menghibur masyarakat. Kita senang mendengarkan karawitan bukan hanya karena kita terhibur. Fungsi hiburan merupakan sebagian kecil dari sekian banyak fungsi karawitan. Apabila kita berbicara tentang pendidikan karawitan maka akan ditemukan aspek-aspek lain di samping estetis, seperti etika dan pengetahuan yang berhubungan dengan berbagai nilai yang mendalam (Hastanto, 1997:6).
Keraguan dan ketidakpedulian terhadap pembelajaran karawitan tidak dialami oleh keseluruhan stakeholder pendidikan. Sebagai contoh SMA Negeri 1 Trenggalek memasukan karawitan sebagai materi pembelajaran kurikuler. Menurut kepala sekolahnya karawitan digunakan sebagai bidang unggulan karena dianggap memiliki peranan yang besar bagi kepentingan individu siswa, sekolah, bansga dan negara (Sugeng Riyono, wawancara:25 Maret 2011).
2. Rumusan Masalah
Untuk menghilangkan rasa keraguan dan ketidakpedulian para stakeholder pendidikan terhadap pembelajaran karawitan maka dalam sub bab ini dirumuskan beberapa hal tentang kelebihan dan nilai filosofis karawitan terkait dengan pendidikan karakter bangsa.
a. Bagaimana karakteristik pembelajaran karawitan?
b. Apa materi pembelajaran karawitan dalam rangka pendidikan karakter bangsa?
c. Jenis karakter apa yang dapat dibentuk melalui pembelajaran karawitan?
B. PEMBAHASAN
1. Karakteristik Pembelajaran Karawitan
Pemahaman terhadap karakteristik pembelajaran karawitan diperlukan untuk mengetahui dan mengkaji sifat-sifat dan keberadaan pembelajaran karawitan. Perlunya pemahaman ini didasari oleh perbedaan materi pembelajaran sehingga para pembelajar cepat mengerti dan mudah menentukan cara serta langkah dalam pembelajaran.
a. Budaya Lokal
Karawitan sebagai budaya tradisi tidak dapat terlepas dengan tata nilai yang berlaku di daerah tempat karawitan itu hidup dan berkembang. Biasanya kebiasaan-kebiasaan, norma dan tata nilai selalu menyertai selama budaya itu diakui oleh masyarakat pendukungnya. Misalnya gamelan Sekaten yang berada di Keraton Surakarta dan Yogyakarta hanya dibunyikan pada bulan Robiulawal atau Maulud sebagai pertanda peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain bulan itu gamelan Sekaten tidak dibunyikan kecuali gamelan-gamelan duplikat di luar keraton misalnya di sekolah-sekolah.
Kebiasaan seperti itu sangat kental dalam kehidupan seni budaya tradisi. Karawitan sebagai materi pembelajaran di sekolah masih dipengaruhi oleh kaidah-kaidah tradisi sebagai ciri-ciri dari seni budaya lokal atau daerah. Seni tradisi secara umum dapat dinyatakan sebagai bentuk budaya lokal adalah yang merupakan seni kelompok etnik yang memiliki kemapanan sistem nilai, patokan, aturan, idiom tertentu yang harus dipatuhi (Subroto, 1991:5). Nilai-nilai yang ada dalam pembelajaran karawitan memiliki wilayah teba sangat luas dan dalam misalnya tentang estetika, etika, kehalusan budi, kesabaran, kebersamaan dan sebagainya. Patokan, aturan maupun idion dalam karawitan dapat dilihat bahwa pada karawitan terdapat kaidah pokok seperti laras, pathet, teknik dan irama. Kemapanan sistem nilai dan kaidah yang dimiliki karawitan sebagai bentuk perbedaan dengan budaya yang lain maka karawitan merupakan seni budaya lokal yang memiliki ciri-ciri khusus.
Karawitan merupakan salah satu jenis musik tradisional etnis Jawa. Suatu ketika karawitan menjadi materi pembelajaran di sekolah-sekolah, jenis musik ini dimasukkan dalam mata pelajaran seni budaya. Dengan kata lain bahwa karawitan dikategorikan sebagai bagian dari seni musik dan seni musik sendiri bagian dari kesenian atau seni budaya. Apa yang terjadi dalam sistem pendidikan kita, karawitan akan mendapat kesempatan diajarkan di sekolah dengan durasi waktu yang sangat sedikit dan itupun kalau ada kebijakan. Kondisi demikian sudah terjadi sejak lama dan berlangsung di berbagai sekolah umum.
Kurikulum diknas sejak dulu sampai sekarang secara substansional berdasar pada kaidah seni barat dengan penggolongan berupa seni musik, rupa dan teater (Wardani, 2006:27). Pada saat penggolongan ini dihadapkan pada fenomena lokal maka yang terjadi ketidaksesuaian antara kebutuhan dan kesempatan. Kesenjangan ini akan menjadi kondisi yang statis apabila tidak ada keberanian dari pembuat kebijakan. Implementasi pembelajaran karawitan kiranya tidak semudah membalik telapak tangan. Kendala atau kesulitan tentu bisa terjadi pada saat pelaksanaannya. Karawitan yang merupakan salah satu kesenian daerah tidak berbeda dengan kesenian daerah lain dalam menghadapi situasi dan kondisi global sekarang. Posisi pendidikan kesenian dalam kondisi rawan. Pada satu posisi, pendidikan kesenian berada di tengah-tengah proses dialektika budaya baru yang menuju pada sintesa budaya modernitas dan suatu sintesa budaya yang menuntut kekuasaan demokratis dan terbuka (Kayam, 1996:4). Seni memang selalu identik dengan kebebasan karena tanpa kebebasan berfikir dan berekspresi tidak akan bisa menciptakan suatu gagasan yang baru.
b. Multidimensi dan Multidisiplin
Multidimensi dalam pendidikan seni memiliki hubungan yang erat dengan berbagai potensi yang ada dalam diri manusia secara utuh. Lowenteld dan Brittain (dalam Wardani, 2006:20) menyatakan bahwa “pendidikan seni tidak hanya mengembangkan potensi estetik kreatif tetapi juga mengembangkan potensi fisik, perceptual, intelektual, emosional, kreatifitas dan sosial. Pada bagian yang lain Wardani (2006:23) menyatakan bila berbagai potensi dapat dikembangkan secara utuh maka akan dapat pula digunakan sebagi bahan untuk memiliki multi kecerdasan yang dimiliki oleh manusia dalam memperoleh kebermaknaan hidup. Multidimensi dalam pendidikan kesenian lebih lanjut dikatakan ada beberapa hal, yaitu: kecerdasan kinestetik, kepekaan indrawi, kemampuan berfikir, kepekaan rasa, seni dan kreatifitas, kemampuan sosial dan kemampuan estetik. Ketujuh jenis kecerdasan yang dibangun dalam pendidikan seni ada dalam tubuh dan ruh karawitan.
Berdasarkan ciri-ciri khusus yang terdapat dalam karawitan multidimensi dalam pendidikan akan diperoleh. Dengan belajar karawitan kita akan terdidik untuk mengenal sifat-sifat kasar dan halusnya sebuah objek yang kita hadapi. Kepekaan inderawi akan tumbuh dan berkembang karena dibiasakan untuk cepat tanggap terhadap sesuatu yang ditangkap melalui indera pendengaran khususnya. Kemampuan berfikir juga akan terpupuk karena dalam karawitan terdapat pembiasaan untuk merencanakan, membuat, mengolah dan menyajikan. Kepekaan rasa, seni, dan kreatifitas merupakan unsur yang selalu berdekatan untuk mengembangkan ide dan gagasan berdasarkan perasaan dan tidak ada keterpaksaan. Kemampuan sosial juga terdapat pada pembelajaran karawitan yang merupakan sebuah bentuk sikap kebersamaan. Sedangkan kemampuan estetis merupakan fokus dari keseluruhan fungsi kita belajar kesenian.
Berkaitan dengan kemampuan sosial dalam karawitan terkandung tata nilai dan fungsi karawitan dalam masyarakat. Karawitan sebagai salah satu jenis kesenian dipandang dari fungsi multidimensional, dalam arti bahwa kesenian bukanlah komponen yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan komponen-komponen yang lain dalam kehidupan manusia. Suanda (2006:33) menjelaskan bahwa komponen yang berhubungan dengan pendidikan seni adalah pengetahuan, sejarah, sosial, budaya, kepercayaan dan lingkungan.
Hastanto (1991:4) dalam makalahnya yang berjudul Ilmu dan Seni menyatakan bahwa seni merupakan santapan rohani dengan tema yang sangat luas mulai dari tatanan netral sampai pada pengasahan ketajaman rasa. Pengertiannya menyangkut tentang kebutuhan lahiriah dan perasaan (batiniah). Kebutuhan yang lahiriah berhubungan dengan membuat dan menyajikan sebuah karya seni termasuk yang berkenaan dengan fungsi-fungsinya sebagai sarana hiburan, penerangan, peribadatan dan sebagainya. Kebutuhan lahiriah dalam kontek pembelajaran seni karawitan tidak dapat terpisah dengan unsur perasaan yang merupakan kebutuhan rasa dan emosional.
Secara akademik, salah satu tujuan pendidikan adalah mengoptimalkan potensi kognitif, afektif dan psikomotor (Danim, 2010:41). Sangatlah jelas tiga ranah pendidikan itu ada dalam tubuh seni karawitan sebagai materi pendidikan. Secara kognitif karawitan mengandung nilai sastra yang sarat dengan ilmu dan pengetahuan. Afektif dapat dipahami melalui nilai-nilai dan kaidah dalam sastra dan cara menyajikannya. Sedangkan psikomotor berkaitan dengan penguasaan praktek yang tidak lepas dengan ekspresi, imajinasi, inovasi dan kreatifitas.
Budhisantoso (1991:4) mengatakan bahwa ada dua aspek kesenian yang perlu diperhatikan yaitu kontek estetika dan kontek makna. Kontek estetika yang meliputi penyajian yang mencakup bentuk dan keahlian yang melahirkan gaya dan kontek makna pesan dan lambang-lambang. Dua kontek tersebut sejajar dengan pendapat Pieter B. Mboeik (1986:1) yang menyatakan: “…seni merupakan kemahiran membuat dan melakukan tetapi hasil dari kegiatan itu sebagai perangsang timbulnya pengalaman estetis di samping tujuan yang lain seperti mendidik, beribadah dan sebagainya”.
Dari sudut pandang dalam pendapat di atas bahwa pendidikan seni tidak hanya memiliki fungsi multidimensi tetapi juga multidisiplin dalam arti pendidikan seni bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mengapresiasi dan atau mengeskpresikan diri dengan berbagai medium seperti rupa, bunyi, gerak, bahasa dan perpaduannya (Suanda, 2006:33). Beberapa medium tersebut semuanya ada dalam pendidikan karawitan bahkan lebih dari itu masih ada yang lebih dalam dan komplek berkaitan dengan nilai, fungsi dan simbol-simbol.
Bunyi merupakan medium pokok dalam karawitan tetapi dalam penyajiannya tidak dapat mengabaikan peranan medium yang lain seperti gerak, rupa dan bahasa. Sebagai contoh pada sebuah sajian tembang atau lagu terdapat medium bunyi yang tidak bisa meninggalkan yaitu sastra (bahasa). Begitu juga medium bantu atau pendukung seperti rupa dan gerak.
2. Pembelajaran Karawitan Dalam Rangka Pendidikan Karakter Bangsa
a. Pengertian Pendidikan Karakter
Pembelajaran karawitan merupakan salah satu bentuk aktivitas pendidikan seni yang memiliki tujuan lebih dari sekedar pengetahuan yang bersifat lahiriah saja. Pendidikan seni memiliki peranan dalam pembentukan pribadi siswa yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan dan perkembangan anak didik untuk mencapai kecerdasan, kreatifitas, emosional, intelektual dan spiritual. Pendapat ini selaras dengan pernyataan Maslow (dalam Semiawan, 2006:13) “education through art”, menumbuhkan kreatifitas, kepekaan sosial terhadap lingkungan, mencerdaskan segi kognitif dalam perkembangan manusia dalam harmoni dengan dimensi pembentukan karakter manusia.
Dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan Nasional 2010-2014 (2011) disebutkan bahwa pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral dan watak yang bertujuan mengembangkan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan karakter menurut Doni Koesoema (dalam Samsuri: 2011) “merupakan sebuah struktur antropologis yang terarah pada proses pengembangan dalam diri manusia secara terus menerus untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia yang berkeutamaan”. Sedangkan menurut Suyanto (2011), pendidikan karakter merupakan pembentukan cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam naskah Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2010-2015 (2011) dinyatakan bahwa “Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan proses pengembangan kepribadian manusia yang bertumpu pada kemampuan dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka mencapai kebermaknaan hidup.
b. Materi dan Jenis Karakter Bangsa Yang Terbentuk
Martin Luther King (dalam Suyanto, 2011) mengatakan bahwa “intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya)”. Dalam sumber yang sama Thomas Lickona menyatakan bahwa pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang mencakup aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Ketiga aspek dalam pendidikan karakter tersebut dapat disejajarkan dengan pendapat Peiter B. Mboeik (1986:6) yang menyatakan pendidikan seni (terutama di dalam karawitan) terdapat pembelajaran yang mencakup membuat, mengelola dan melakukan dan hasilnya menumbuhkan pengalaman yang estetis di samping fungsi-fungsi yang lain. Oleh karenanya, dalam sub bab ini pendekatan pembelajaran karawitan dalam rangka pendidikan karakter bangsa dilakukan dengan tiga jenis materi yaitu pengetahuan, perasaan dan tindakan.
1. Aspek Pengetahuan (Cognitive)
Beberapa komponen yang terdapat dalam pengetahuan karawitan tentang sastra, sejarah, teori-teori, bentuk, unsur dan pengetahuan praktek. Pada komponen-komponen itu tersirat berbagai kaidah dan nilai-nilai luhur tentang baik buruk mulai dari hubungannya degan Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, bangsa dan negara.
Berbicara tentang komponen pengetahuan yang terdapat pada karawitan; pengetahuan sastra merupakan bagian yang paling dominan dibanding dengan komponen-komponen yang lain. Pengetahuan sastra yang tertuang dalam tembang atau lagu memiliki isi, makna dan bentuk yang beragam. Sebagai contoh dalam karawitan terdapat tiga jenis tembang yaitu tembang macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe. Ketiga jenis tembang tersebut memiliki ciri-ciri dan tata cara penyajiannya yang berbeda-beda.
Selain itu satra tembang Jawa memiliki isi dan kandungan makna yang dapat digunakan sebagai materi pendidikan karakter. Sebagian besar dari masyarakat sekarang menggunakan sastra tembang mengambil dari karya sastra kuna seperi Wedhatama, Wulangreh dan Tri Pama. Dari sumber-sumber tersebut dianggap memiliki nilai ajaran luhur bagi kehidupan manusia. Menurut Ajip Rosidi (1995:119) dijelaskan bahwa “keanekaragaman karya sastra nasional Indonesia tidaklah hanya memperlihatkan mozaik yang berdasarkan agama saja, melainkan juga berdasarkan keanekaragaman budaya dan kesenian”. Dengan demikian pendidikan karakter bangsa tidak hanya bersumber pada ajaran agama saja tetapi juga dapat dilakukan melalui pembelajaran seni budaya.
Anjar Ani (1983:3) menyatakan bahwa sastra yang terkandung dalam Wedatama karangan Ranggawarsita berupa syair-syair tembang macapat penuh dengan ajaran lahir dan batin. Syair-syair itulah disebut wujud ilmu pengetahuan (WEDA) dan TAMA sebagai ajaran yang baik dan utama. Salah satu contoh dalam pembukaan Wedatama ditemukan tembang Pangkur dengan syair.
Mingkar mingkuring angkara
akarana karenan mardi siwi
sinawung resmining kidung
sinuba sinukarta
mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
kang tumprap neng tanah jawa
agama ageming aji
Terjemahan :
Menjauhkan diri dari nafsu angkara
karena berkenan mendidik putra
dalam bentuk syair dan lagu
dihiasi penuh variasi
biar menjiwai ilmu luhur yang dituju
di tanah jawa (indonesia) ini yang hakiki
adalah agama sebagai pegangan yang baik
(Andjar Any, 1983:31)
Pada bagian lain Andjar Any (1983:6) menambahkan bahwa syair-syair tembang dalam Wedatama mengandung ajaran-ajaran tentang 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) kebijaksanaan tata bergaul, 3) berjiwa satria, 4) menghormati orang lain dan 5) berjuang untuk hidup.
Dapatkah dan adakah materi pembelajaran seperti di atas disajikan pada sekolah-sekolah di masa sekarang. Berdasarkan penelitian yang saya lakukan di SMA Negeri 1 Trenggalek ditemukan beberapa hal yang menarik terkait dengan pendidikan karakter. Informasi yang didapat dari guru seni budaya pada sekolah tersebut adalah :
“Tahun 2006 saya diserahi tugas mengajar karawitan oleh kepala sekolah dengan materi pelajaran yang bernafaskan Islami. Lalu saya memberikan lagu Ilir-Ilir dan Pepeling. Lagu itu saya berikan di kelas sambil saya jelaskan arti dari cakepannya”. (Sudarso, wawancara: 25 Maret 2011).
Data lain yang dapat ditemukan di SMAN 1 Trenggalek adalah di ruang kepala sekolah terpampang di dinding sebidang karya seni rupa tatah sungging dengan judul Tri Pama. Gambar tersebut terdiri dari tiga tokoh wayang yaitu Bambang Sumantri, Karna dan Kumbakarna. Mengapa gambar itu dipasang di ruang kepala sekolah. Menurut Sugeng Riyono kepala SMAN 1 Trenggalek, bahwa :
“Dalam serat Tri Pama memang terdapat cerita tentang kesetiaan prajurit terhadap negaranya”. (Wawancara, 26 Maret 2011).
Contoh :
Tembang Dhandhanggula
Yogyanira kang para prajurit
lamun bisa sami anulada
duking nguni caritane
andelira sang prabu
Sasrabau ing Maespati
aran patih Suwondo lelabuhanipun
kang ginelung tri prakara
guna kaya purune kang den antepi
nuhoni trah utama
Isi dari cerita tembang di atas adalah tentang prajurit yang sebaiknya bisa meniru dan meneladani yang dilakukan oleh patih Suwondo di kerajaan Maespati. Pada saat itu patih Suwondo berani mati untuk tiga alasan yaitu karena sebagai ksatria, merasa bisa makan dan minum serta dilahirkan di negara Maespati.
Pengetahuan sastra dalam tembang tidak hanya dapat dijaki dari isi dan maknanya tetapi juga terdapat pengetahuan-pengetahuan yang lain seperti sejarah, wangsalan, parikan, purwakanthi, gatra, wanda, guru lagu, pedhotan, lampah, dan sebagainya. Dengan demikian sangatlah padat dan berisi di dalam satra tembang sehingga menunjukkan adanya kekayaan makna dan simbol dalam budaya kita. Pemahaman terhadap sejarah, laras, pathet, teknik tabuhan, pola tabuhan, bentuk gending dan garap diperlukan sebagai pengetahuan dasar karawitan. Penguasaan pengetahuan karawitan merupakan pertanda bahwa dalam pembelajaran karawitan tidak hanya mempelajari tentang tabuh menabuh gamelan. Lebih dari itu kekayaan pengetahuan karawitan akan berpengaruh pada kemampuan keilmuan seseorang sehingga dapat menumbuhkan rasa andarbeni terhadap karawitan sebagai budaya lokal sekaligus budaya bangsa Indonesia.
Apa jenis karakter bangsa yang dapat terbentuk melalui pembelajaran karawitan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak hal yang terbentuk melalui karawitan, antara lain :
a. Terbentuknya manusia yang memiliki watak dan wawasan kepribadian yang luhur yaitu tentang etika, moral dan nilai-nilai filosofi budaya bangsa.
b. Terbentuknya rasa cinta terhadap budaya sendiri.
2. Aspek Perasaan (Feeling)
Perasaan dalam konteks pendidikan karawitan dapat dipandang dari dua sudut, yaitu perasaan yang berhubungan dengan etika dan estetika. Antara etika dan estetika dalam pendidikan karawitan tidak bisa dipisakan. Apabila pembelajaran karawitan hanya dipenuhi oleh aspek estetika maka hanya akan muncul tukang-tukang seni. Akibatnya seni budaya digunakan sebagai pemenuhan kepuasan hiburan. Sebaliknya apabila pembelajaran seni hanya didominasi oleh aspek etika maka yang akan muncul adalah berkurangnya kesadaran untuk menerimanya karena faktor estetikanya tidak terpenuhi.
Perasaan dalam konteks etika pada pembelajaran karawitan dapat dilihat pada kaidah-kaidah, norma-norma dan nilai-nilai tentang baik buruk. Pemahaman dan implementasinya tidak dapat disamakan dengan pemahaman dalam bentuk pengetahuan tetapi harus menggunakan perasaan hati atau nurani. Dalam kontek estetika sangat jelas untuk dimengerti karena pendidikan karakter terkait pembelajaran karawitan tidak dapat meninggalkan peranan emosional.
“Pendidikan seni memiliki peranan dalam pembentukan pribadi siswa yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan dan perkembangan anak didik untuk mencapai kecerdasan emosional….” (Suanda, 2006:33). Peranan pendidikan seni dalam pembentukan pribadi dapat dianalogikan sebagai pembentukan karakter maka memiliki hubungan yang erat dengan emosional peserta didik. Dari pengertian inilah pendidikan karakter sangat membutuhkan peranan emosional (perasaan) yang salah satunya dapat diperoleh melalui pembelajaran seni, termasuk di dalamnya karawitan. Wardani (2006:17) mengatakan bahwa “dalam proses pembelajaran di ranah inderawi dan rasa atau feeling atau esmosi selalu dilatih secara optimal….” Cut Karnaril Wardani selanjutnya menambahkan bahwa peran utuh dari pendidikan seni berguna bagi pembentukan karakter indiviu dan bangsa.
Seringkali para pelaku dan pembuat seni tidak pernah menggantungkan antara etika dan estetika, tetapi sering terjadi permasalahan di masyarakat setelah produk disajikan. Kadang-kadang karya seni menjadi suatu hal yang bertentangan dengan norma dan kebiasaan masyarakat setempat sehingga dapat menjadi bahan pergunjingan. Dalam makalah ini sengaja disatukan antara etika dan estetika dalam karawitan karena didasarkan pada pendidikan karakter. Estetika yang diajarkan harus didasari kaidah-kaidah etika karena bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kualitas hidup.
Dalam kontek estetika sangatlah jelas bahwa pembelajaran karawitan mengenal laras, pathet, wirama dan wirasa. Semua itu tertuju pada menggunakan perasaan dalam kontek estetika. Apa yang dibangun melalui pembelajaran karawitan dalam kontek etika. Secara ilmu pengetahuan telah dipaparkan pada bagian di atas tetapi pada bagian ini dapat dilihat pada nilai-nilai kepantasan pada saat penyajian karawitan berlangsung. Dalam budaya Jawa secara umum terdapat kaidah tentang subasita (perilaku) dan tata karma (tata bahasa yang baik). Keduanya akan berpengaruh terhadap etika para pelaku seni karawitan karena selalu ada dalam pendidikan karawitan. Bentuk karakter yang dapat diperoleh melalui aspek perasaan antara lain: kehalusan budi, kepekaan perasaan yang dapat menumbuhkan cinta sesama, kehati-hatian, disiplin dan kesabaran. Bahkan ada informasi yang menyatakah bahwa pada saat menyajikan geding seorang pengrawit bagaikan orang yang semedi (Sudarso, wawancara, 26 Maret 2011). Hal itu menunjukkan bahwa peranan pemusatan perasaan sangat dibutuhkan pada waktu menyajikan gending.
3. Aspek Tindakan (Action)
Tindakan yang muncul dalm suatu kegiatan belajar mengajar karawitan dapat juga diartikan sebagai bentuk sikap. Kaidah-kaidahpun akhirnya tidak hanya mengarah pada tindakan penyajian karya seni tetapi juga mengarah pada sikap atau perilaku. Faktor psikomotor yang selalu melekat pada proses pembelajaran karawitan juga selalu bersama-sama berjalan dengan ketentuan-ketentuan yang menjadi kaidah dalam karawitan. Kaidah-kaidah ini tidak tertulis dan dapat dipahami secara filosofi pada setiap tindakan dilakukan. Dengan demikian peragaan dalam penyajian karawitan tidak semata memburu dan mencari kepuasan dalam bentuk estetis tetapi perlu dibarengi dengan tindakan yang berupa etika. Pendekatan dalam bentuk tindakan ini erat hubunganya dengan aspek rasa, oleh sebab itu dalam pembelajaran karawitan antara rasa dan tindakan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan pembentuk sebuah sajian karawitan secara utuh. Estetika dan etika merupakan unsur pokok dalam karawitan. Estetika tanpa etika kadang-kadang memandang seni budaya sebagai hiburan. Pada hal menurut Hastanto (1991:4) seni merupakan pengasahan ketajaman rasa dan fungsinya sebagai hiburan hanya sebagian kecil saja. Menurut Sedyawati (2006:51) bahwa pendidikan kesenian di sekolah-sekolah bertujuan untuk mengembangkan kapasitas penghayatan seni yang merupakan sarana pendidikan dalam pembangunan manusia seutuhnya untuk menambahkan kemahiran teknik dalam memproduksi ungkapan estetis.
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa dalam karawitan terdapat kaidah-kaidah tertentu yang perlu dipatuhi meskipun bukan merupakan pengetahuan maupun teori dasar tentang karawitan. Sebagai contoh cara duduk, berpakaian, berbicara, berjalan, berdiri, memandang, bergerak dsb. Sikap itu memang tidak tertulis dan jarang masuk dalam materi pembelajaran tetapi apabila tidak benar dalam bersikap maka akan merusak tata nilai di dalam penampilan.
Pada sekolah kejuruan karawitan seperti SMKI maupun ISI terdapat cara pembelajaran dengan TB (tabuh bersama) dan TS (tabuh sendiri). Kedua cara tersebut dalam rangka memupuk rasa kebersamaan (TB) dan mencetak output yang professional (TS). Dengan demikian dalam pembelajaran karawitan terdapat filosofi tentang hidup bersama dan tanggung jawab. Berdasarkan uraian di atas, bentuk-bentuk karakter bangsa yang dapat diperoleh terkait dengan praktek menabuh atau menyajikan karawitan antara lain: kejelian dan ketelitian, kedisiplinan, kesopanan, kehalusan budi, kebersamaa, kemampuan estetis dan skill.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Karawitan sebagai materi pembelajaran di sekolah didasari berbagai pertimbangan karena memiliki karakteristik sebagai budaya lokal, multidimensi dan multidisiplin. Karawitan sebagai budaya bangsa memiliki ciri-ciri khusus terhadap keterikatannya dengan nilai, norma dan kaidah-kaidah yang berlaku di daerah kehidupan dan perkembangannya yaitu Jawa. Karawitan sebagai kesenian multidimensi karena dibangun dalam pembelajaran karawitan mencakup: kecerdasan kinestetik, kepekaan inderawi, kemampuan berpikir, kepekaan rasa, seni dan kreatifitas, kemampuan sosial dan kemampuan estetis. Terkait dengan multidisiplin karena dalam karawitan tidak hanya terdapat medium bunyi tetapi juga terdapat medium bahasa (sastra), gerak dan rupa.
Pembelajaran karawitan dapat dilaksanakan di sekolah dengan melalui tiga aspek materi yaitu pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Berdasarkan tiga jenis materi yang diberikan akan dapat digunakan sebagai pembentuk karakter bangsa. Bentuk karakter bangsa yang dapat diperoleh melalui pembelajaran karawitan antara lain: rasa cinta budaya sendiri, memiliki kemampuan (skill), kemampuan estetis, berkepribadian luhur, memiliki kehalusan budi, kebersamaan dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Andjar, Any, 1983. Menyingkap Serat Wedatama, Semarang: Aneka Ilmu.
Budhisantoso, S, 1991. “ Kesenian dan Kebudayaan di Indonesia”, makalah dalam diskusi. Terbitan buku perdana STSI PRESS, Surakarta: STSI PRESS.
Danim, Sudarwan, 2010. Pengantar Kependidikan, Bandung: Alphabeta.
Hastanto, Sri, 1991. “Ilmu dan Seni” dalam Seminar Peksiminas I 2-5 Oktober 1991, Surakarta: STSI PRESS.
Hastanto, Sri, 1997. “ Pendidikan Karawitan: Situasi dan Angan-Angan”, dalam jurnal seni STSI Surakarta edisi Maret 1997.
Kayam, Umar, 1996. “Posisi Perguruan Tinggi Seni di Indoensia”, dalam Seminar Nasional STSI Surakarta, Surakarta: STSI PRESS.
Koesoema, Doni, 2011. Pendidikan Karakter Menurut Beberapa Ahli, Retrieved Maret 3, 2011. http://.www.eprints.sunan-ampel.ac.id.
Moeljosoeseno, 2002. Pendidikan Budi Pekerti. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo.
Rosidi, Ajip, 1995, Satra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.
__________2011. Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan Nasional 2011-2014, Retrieved Maret 3, 2011. http://www.mendikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Semiawan, Conny, 2006. Pendidikan Seni dalam Pendidikan Nasional, Bandung: APSI.
SuandaSemiawan, Conny, 2006. Pendidikan Seni dalam Pendidikan Nasional, Bandung: APSI.
Suanda, Endo, 2006. Kesenian dan Pluralitas Kultur. Bandung: APSI
Subroto, Edi, 1991. Seni Tradisi, Seni Pertunjukkan Masa Dan Seni Modern Dalam Proses Modernisasi. Makalah Simposium Peksiminas 2-5 Oktober 1991, Surakarta: UNS PRESS.
Sumarsam, 2003. Gemelan : Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikan di Jawa. Pustaka Pelajar.
Tilaar, H.A.R. 2006. Pendekatan Multikultural dan Pendidikan Seni, Dua Sungai Satu Muara, Bandung: APSI.
Wardani, Cut Kamaril, 2006. Pendidikan Seni Berbasis Budaya Dalam Meningkatkan Multikecerdasan. Bandung: APSI
INFORMAN:
Mualip, 47 Tahun, Guru BK SMA Negeri 1 Trenggalek.
Sudarso, 41 Tahun, Guru Seni Karawitan SMA Negeri 1 Trenggalek.
Sugeng Riyono, 49 Tahun, Kepala SMA Negeri 1 Trenggalek.
CURRICULUM VITAE PENULIS
Nama : Kamiran, S.Sn
Tempat, tanggal lahir : Tulungagung, 15 Juli 1965
Alamat : Desa Gesikan, Pakel, Tulungagung
Mengenal karawitan sejak usia 8 tahun (kelas 3 SD) melalui kelompok-kelompok karawitan di masyarakat. Keilmuan tentang karawitan di dapat pada ASKI Surakarta (sekarang ISI Surakarta) dan STKW Surabaya. Aktivitas keseharian antara lain :
1. Guru seni budaya dan Bahasa Daerah di SMP dan SMK Islam Al Badar Tulungagung.
2. Dosen seni budaya di STAI Muhammadiyah Tulungagung.
3. Dwija dan pengurus Permadani.
4. Penatacara dan pamedharsabdo bahasa Jawa.
5. Pengrawit dan dalang wayang purwa.
Sekarang masih dalam proses menyelesaikan tugas akhir tesis pada Universitas Muhammadiyah Malang.