Artikel

ABSTRAK

 

Memahami   Psikologi Masyarakat Indonesia melalui Pengkajian Folklor Nusantara sebagai Dasar Pemahaman Psikologi  Berbasis Budaya Indonesia (Pendekatan Multidisiplin Psikologi, Ilmu-Ilmu Sastra dan Antropologi)

 

Oleh

DR. Arif Budi Wurianto, MSi

Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang

 

Folklore secara umum didefinisikan sebagai bagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun. Diantara kolektif dalam berbagai macam versi yang berbeda dan bersifat tradisional baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat /mnemonik device (Danandjaja, 2002:2). Folklore biasanya mempunyai bentuk yang berpola sebagaimana dalam cerita rakyat atau permainan rakyat pada umumnya. Folklore pada umumnya mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif misalnya cerita rakyat sebagai alat pendidik, hiburan, protes sosial, dan proyeksi suatu keinginan yang terpendam. Sebagai bentuk kebudayaan milik bersama (kolektif) folklore bersifat pralogis yaitu logika yang khusus dan kadang berbeda dengan logika umum. Penelitian tentang folklore telah banyak dilakukan untuk berbagai macam tujuan, misalnya untuk tujuan Antropologi, Pendidikan, Bahasa, Seni Pertunjukan, Sosiologi, dan berbagai pranata sosial. Penelitian folklore dapat juga dimanfaatkan untuk bidang Psikologi, karena folklore mengungkapkan  secara sadar atau tidak sadar bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku, dan memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh folk kolektif pendukungnya. Misalnya bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Minangkabau melalui pepatah, pantun, dan peribahasa. Demikian juga bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Jawa melalui permainan rakyat (dolanan, tembang), bahasa rakyat (parikan, tembung seroja, sengkalan, dsb.), puisi rakyat, ragam seni pertunjukan, lelucon, bahkan manifestasi dalam fisik kebudayaan seperti batik, wayang, tarian, dan sebagainya.

            Sebagaimana dikemukakan oleh William R. Bascom (1965) bahwa empat  fungsi utama folklore adalah : (a) sebagai sistem proyeksi yaitu alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak, dan (d) sebagai alat pengawas atau kontrol agar norma-norma masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Secara teori folklore berkaitan dengan tujuh unsur kebudayaan universal yaitu ekonomi (sistem pencaharian hidup), teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi. Berdasarkan tujuh unsur kebudayaan universal tersebut maka folklore dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar yaitu folklore lisan, folklore sebagian lisan, dan folklore bukan lisan. Brunvand (1968) menyatakan folklore terdiri atas mentifacts, sociofact dan artifacts. Selain itu kebudayaan pada hakikatnya merupakan tata kelakuan manusia, kelakuan manusia dan hasil kelakuan manusia, maka Psikologi Masyarakat Indonesia dapat dipahami melalui pengkajian folklore nusantara sebagai dasar pemahaman psikologi berbasis budaya Indonesia, baik dalam bentuk, fungsi dan maknanya. Dalam bidang antroplogi psikologi hal ini sangat penting. Antropologi budaya dan antropologi sosial yang memiliki hubungan erat dengan folklore dapat berhubungan dengan ilmu psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, ilmu psikiatrik, dan psikoanalisa secara produktif dan sistematis.

           

Sebagaimana telah diketahui psikologi kepribadian yang meliputi perkembangan dan psikiatri memiliki objek kajian kepribadian manusia dan usaha untuk memahami mengapa serta bagaimana pribadi berbeda antara satu dengan yang lain. Sementara itu dalam antropologi psikologi ada upaya menjembatani kebudayaan dan kepribadian yang pada intinya merupakan interdisiplin antara antropologi dan psikologi (Barnouw, 1963;Danandjaja 1994). Dengan mengambil konsep Francis L. K. Hsu (1961;Danandjaja 1994) maka psikologi masyarakat Indonesia dapat dipahami melalui pengkajian folklore nusantara sebagai dasar pemahaman psikologi berbasis budaya Indonesia dapat diupayakan dikaji melalui kajian kebudayaan (Culture on Studies) khususnya folklore dengan menitikberatkan:

a).    Cross cultural studies atau pengkajian lintas budaya mengenai kepribadian dan sistem sosial budaya melalui analisis kritis berbagai folklore yang berkembang dan menyebar di nusantara;

b).    Segala bentuk kebudayaan dalam folklore sebagai variabel bebas (independent variable) maupun variabel terikat (dependend variable) yang berkaitan dengan kepribadian;

c).    Kajian atas individu dan kolektif masyarakat sebagai tempat atau wadah kebudayaan;

 

Selanjutnya perlu dilihat juga hubungan struktur sosial dan nilai budaya dengan pola rata-rata pengasuhan anak, perilaku yang diungkapkan melalui hubungan antara pola rata-rata pengasuhan anak dengan struktur kepribadian rata-rata, hubungan antara struktur kepribadian rata-rata dengan sistem peran dan aspek proyeksi dari kebudayaan. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah konsep kepribadian-kebudayaan (personality culture) yang timbul sebagai dampak interaksi antara psikologi dan antropologi.

           

Tiga kelompok besar masalah hubungan antara culture and personality seperti human nature, typical personality, dan individual personality berkaitan erat dengan munculnya hubungan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan kepribadian dan hubungan kebudayaan dengan kepribadian “abnormal”. Selama ini banyak teori yang diambil dari Perspektif Barat. Melalui pengkajian secara kritis, analitis, dan berkelanjutan tentang cross culture studies dapat dimungkinkan diperoleh sebuah konsep, model, pendekatan, paradigma dan teori psikologi berbasis budaya Indonesia. Niels Mulder (2001) telah memulai kajian tentang variasi budaya dalam kepribadian suatu masyarakat seperti benturan antarkultur, antarkebudayaan, dan antarnilai pada masyarakat berbasis budaya timur khususnya Asia Tenggara, Indonesia, Thailand, Philipina dan Jawa. Hal ini sangat mungkin dapat dikembangkan lebih lanjut mengingat pandangan hidup dan kebudayaan bukan merupakan hal yang statis melainkan kebudayaan dapat dipandang sebagai petunjuk mental dalam kehidupan maupun sesuatu yang baru.

 

Secara lebih lengkap, makalah ini akan memaparkan bagaimana teori psikologi berbasis budaya Indonesia, khususnya melalui pengkajian lintas budaya dengan objek telaah folklor nusantara dapat menjawab ontologis, epistemologis dan aksiologis sebagai syarat sebuah pengetahuan ilmiah. Melalui kajian interdisipliner hasil-hasil kajian folklor (antropologi dan sastra) dapat dikembangkan sebuah teori, konsep dan metode kajian psikologi berbasis budaya Indonesia.

 

 

Shared: