LK Soroti Tradisi dan Hukum Adat dalam Persepektif Muhammadiyah

Jum'at, 17 Juni 2016 06:24 WIB

Berita UMM
Foto Kajian Multi Disipliner 10

Soroti tradisi dan hukum adat dalam persepektif Muhammadiyah dipandang sangat penting dalam memberikan pemahaman dan pemaknaan tentang tradisi dan hukum adat di Indonesia. Melalui Kajian Multidisipliner bertema “Tradisi dan Hukum Adat dalam Persepektif Muhammadiyah” ini, Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang (LK UMM) mengangkat isu tersebut.

      Kegiatan yang berlangsung pada Rabu (15/6) ini dilatarbelakangi sering terjadi kesalahpahaman dan kesimpangsiuran dalam memaknai dan memahami tradisi dan hukum adat di Indonesia. Dua pemateri yang dihadirkan pada kajian ini, yaitu dosen Fakultas Agama Islam, Drs. Faridi, M.Si., dan dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Tinuk Dwi Cahyani, S.H., S.Hi., M.Hum..

      “Islam tidak melarang seni sebagai tradisi budaya, selama tidak mengakibatkan (1) fasad: menimbulkan kerusakan, (2) dharar: membahayakan akidah, (3) ishyan: melampai batas, (4) baid anillah: menjauhkan diri dari Allah,” ungkap Faridi.

Kesenian (tradisi) itu termasuk urusan dunia yang dalam Muhammadiyah dikenal dengan sebutan “mu’amalah dunyawiyah”. Oleh karena itu, Muhammadiyah berpandangan bahwa pada dasarnya seni itu hukumnya mubah (boleh). Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa “al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah” (pada dasarnya hukum yang kuat dalam perkara mu’amalah adalah boleh). Akan tetapi, manakala dalam seni tersebut ada hal-hal lain yang mengarah atau mengakibatkan pelanggaran terhadap norma-norma Islam baik berupa kerusakan (fasad) dan kedurhakaan kepada Allah, maka hukumnya menjadi haram.

Faridi menilai bahwa Muhammadiyah sangat mendukung berkembangnya seni (tradisi) dan hukum adat (budaya) dengan tetap memerhatikan nila-nilai atau norma-norma Islam supaya jangan sampai melampaui batas. Bahkan Muhammadiyah sekarang membuat strategi dakwah yang disebut dengan dakwah kultural, yaitu upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecendrungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Selain itu, kata Faridi, Islam hadir di tengah-tengah masyarakat yang sudah memiliki budaya. “Masyarakat jahiliyah bukan masyarakat yang bodoh, tetapi masyarakat yang belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah,” jelasnya.

Pemahaman hukum adat yang ada di Indonesia tidak lepas dari tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia. “Tiga dimensi hukum adat meliputi (1) dimensi hukum adat tapsila (akhlakul karimah) yang mengatur norma, etika hubungannya dengan lingkungan sosial budaya, pergaulan alam, dan keamanan; (2) dimensi hukum adat krama (akhlakul karimah) yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan); dan (3) dimensi hukum adat pati/gama yang mengatur hukum dalam tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian.” ungkap Tinuk.

Senada dengan itu, Tinuk meyakini, hukum adat dalam masyarakat mempunyai sifat kebersamaan, corak magis-religius, pikiran penataan serba konkret, dan visual. Hal itu bersumber dari tradisi rakyat, kebudayaan tradisional, kaidah dari kebudayaan asli, dan perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Pandangan Tinuk terhadap tradisi dan hukum adat dalam pandangan Muhammadiyah berpedoman pada Alquran dan hadis. “Tradisi dan hukum adat dapat dijalankan apabila tidak bertentangan dengan Alquran dan hadis,” ungkapnya.

 

Shared: