SENI RITUAL SEBAGAI KONTEMPLASI AESTHETIC VISION
(Ritual Arts di Lingkungan Masyarakat Tengger di Jawa Timur)
Arif Budi Wurianto
0213037108
A. Pengantar
Sudah sejak lama, sejalan dengan sejarah peradaban manusia, kesenian sebagai aspek kebudayaan merupakan pranata yang hidup dalam masyarakat. Seni mengiringi pranata-pranata sosial yang lain dalam memenuhi kehidupan manusia dan kebudayaan pendukungnya. Seni yang dikembangkan masyarakat dapat digambarkan sebagai gambaran ungkapan ideologis, tata kelakuan dan budaya material masyarakat pendukung sebuah kebudayaan. Ukuran keindahan yang dipahami oleh anggota masyarakat bersifat relatif karena perbedaan ruang dan waktu, sehingga menjadi sebuah kekhasan dan kearifan lokal karena ciri local indigenious-nya.
Dalam filsafat keindahan (estetika) barat, terdapat tiga pandangan tentang keindahan, yaitu (1) keindahan berdasarkan keseimbangan, keteraturan, ukuran, sebagaimana dikembangkan oleh Pythagoras, Plato dan Thomas Aquinas, (2) keindahan merupakan jalan menuju kontemplasi sebagaimana pandangan Plato, Plotinus, dan Augustinus, bahwa keindahan itu sendiri pertama-tama dianggap ada di luar dan lepas dari subjek dengan penekanan kendahan ada di”seberang”, (3) pandangan Aristoteles dan Thomas yang memperhatikan apa yang secara empiris terjadi dalam subjek yaitu penyelidikan terhadap pengalaman manusia secara aposterori-empiris (Sutrisno, 1993:34). Keindahan akan berada dalam tataran-tataran tertentu. Tempat estetika yang pertama pada dataran dimensi budaya yang menyiratkan pengertian pada pemanusiawian. Yang dimaksud adalah sebagai ekspresi proses kebudayaan manusia. Tempat estetika yang kedua yaitu dimensi fungsional yang menekankan pada kegunaan, efisiensi, teknis dan pemanfaatan seni dalam kehidupan manusia.
Sementara itu dalam filsafat keindahan (estetika) timur, khususnya dalam hal ini Jawa, sebagaimana dinyatakan Zoetmulder (1990), pada masa Jawa Kuno (Jawa-Hindu) keindahan selalu dianggap sebagai pengejawantahan dari “Yang Mutlak”, sehingga semua keindahan adalah satu. Hal ini sejalan dengan pendapat Claire Holt (2000:xxvi) bahwa tatanan moral sebuah masyarakat sangat menentukan sikap serta tindakan orang yang hidup dalam lingkungannya. Jagat raya yang penuh dengan kekuatan hidup semua makhluk dan benda yang ada seperti yang digambarkan oleh orang dengan pandangan dinamistis dari kehidupan, menghendaki upaya-upaya yang ajeg untuk mempertahankan keseimbangan potensi hidup yang benar lewat sarana-sarana magis. Sedangkan pada masa selanjutnya, yaitu zaman Jawa-Islam, nilai keindahan sebagaimana yang didasarkan konsep sastra Suluk memiliki empat sifat yaitu agung (jalal), elok (jamal), wisesa (kuasa) dan sampurna (kamal). (Ciptoprawiro, 2000:25-26). Selanjutnya dicontohkan pula oleh Ciptoprawiro (2000:79) sebagaimana dalam seni wayang kulit di Jawa yang berciri sinkretisme antara Hindu-Islam, keindahan wayang terletak pada kompleksitas estetiknya, karena di dalamnya terdapat unsur filsafat dan pendidikan (seni widya), seni pentas dan karawitan (seni pagelaran), seni pahat dan lukisan ( seni gatra), seni “sanggit” dan kesusastraan (seni ripta), dan seni konsepsi serta ciptaan baru (seni cipta).
Dalam konteks nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantoro (Damono, 1987:24) bahwa kesenian di Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia adalah nilai-nilai kebudayaan sebagai pancaran jiwa bangsa Indonesia yang hidup dan tumbuh antara segenap golongan di seluruh kepulauan Indonesia. Selanjutnya seni yang dapat dijabarkan dalam seni sastra, seni suara, seni lukis dan seni sandiwara sebagaimana disimpulkan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia I di Magelang ,1948 dinyatakan bahwa kesenian ialah penjelmaan getaran jiwa yang asli, kesenian Indonesia baru sewajarnya memancarkan kesenian yang representatif universal, selaras dengan tujuan pembentukan kebudayaan nasional, dan upaya pemeliharaan segala hasil seni serta mengembangkannya dengan memakai segala anasir yang bernilai dari semua zaman dan semua tempat.
Salah satu cabang seni adalah seni pertunjukan (performance art). Seni pertunjukan ini pun memiliki kerangka yang didasarkan atas pranata kebudayaan, seperti pranata religi, sosial, politik maupun ekonomi. Edi Sedyawati (1999: 6-8) menyatakan seni pertunjukan memiliki relevansi dengan situasi sosio politik dan beradasarkan tipologisnya terdiri dari tipologi berdasarkan elemen artistik, dan tipologi berdasarkan fungsi sosialnya. Tipologi yang didasarkan elemen-elemen artistik, seni pertunjukan terdiri dari (a) hanya terletak pada musik, (b) tari dengan iringan musik maupun secara sendratari dan dialog, (c) pertunjukan dramatik dengan iringan musik, (d) pertunjukkan dramatik dengan tari dan musik, (e) seni pertunjukkan yang menampilkan karakter-karakter sebagaimana dalam wayang, dan (f) pertunjukan drama sebagaimana model Eropa. Yang kedua adalah tipologi seni pertunjukkan yang didasarkan atas fungsi sosial yang dalam beberapa komponennya integral dengan upacara keagamaan atau ritus religius. Tipologi yang kedua ini yang umumnya menjadikan beberapa seni pertunjukan bersifat sakral.
Seni memiliki keterkaitan dengan fungsi perubahan sosial. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Roy Sieber (M. Otten,1971: 203) bahwa “ in short, there are two basic aspects of art: its esthetic or presentational context comprised of form and skill and embodying style, and its meaning context comprised of subject and symbolic associations”. Lebih lanut dinyatakan “the art at any time or place, in reflecting cultural values, evolve what might be called the value image that culture has of it self (1971:205). Berkaitan dengan tipologi fungsi sosial, hampir semua kaya seni yang berciri etnis di Indonesia memiliki ciri tipologis ini yaitu beberapa komponennya integral dengan upacara keagamaan dan ritus religius. Misalnya seperti pertunjukan wayang kulit di Jawa sangat terkait dengan aspek ritus religius sebagaimana dalam ruwatan, tari Bedhaya dan Serimpi yang terkait dengan sistem kepercayaan kosmologi Keraton Jawa. Bedaya Srimpi dimiliki dan dikembangkan oleh atau hanya milik raja. Penarinya pilihan yaitu yang menjadi abdi dalem penari Bedaya. Selain itu tarian ini dianggap suci karena menggambarkan perkawinan raja Jawa dengan Ratu Kidul yang dipertunjukkan hanya pada upacara suci dan latihannya pun harus hari Selasa Kliwon yang ditarikan oleh 9 wanita. Sembilan penari tersebut menggambarkan konfigurasi kosmologi Hindu Jawa. Tarian disajikan dengan penuh pengabdian, ketulusan dan kebersihan hati serta pendalaman rasa. Di Yogyakarta tarian ini disebut Bedaya Semang dan di Solo disebut Bedaya Ketawang. Sementara itu tari Gambyong berkembang di masyarakat luas. Penari dari rakyat dan bebas menari atau berlatih dimana saja dan kapan saja. Penari bertujuan memikat dan menghibur. penonton dengan mementingkan wiraga atau penampilan pribadi. Ritmik tidak ditentukan irama tetap tetapi oleh suara kendang yang lincah. Selain itu hampir semua seni di Bali memiliki seni sakral. Dalam tulisan ini, akan diangkat seni pedalaman/pegunungan di Jawa Timur yaitu yang khas dalam masyarakat Tengger yaitu seni tari Sodoran yang sangat erat hubungannya dengan sistem kepercayaan dan ritual masyarakat dalam upacara keagamaan yang mereka anut (art by destination). Secara tipologi berdasar elemen artistik tari ini merupakan seni pertunjukan tari yang diiringi musik dan makna tertentu, sedangkan dari tipologi kedua tari ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upacara ritual masyarakat Tengger.
B. Pengalaman Estetika
Pengalaman estetika (aesthetic experience) adalah rasa khusus atau istimewa yang dialami oleh seseorang. Clive Bell (dalam Sutrisno, 1993:81) menyatakan bahwa estetika mesti berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusus dan istimewa. Sebuah pengalaman pribadi terjadi apabila penalaman itu dirasakan oleh seorang pribadi dan orang hanya bisa tahu karena pernah mengalaminya atau bukan karena diberitahu.
Pengalaman estetika merupakan bagian dari pendekatan estetika. Dalam estetika memiliki dua pendekatan yaitu langsung meneliti keindahan itu dalam objek-objek atau benda-benda atau alam indah beserta karya seni dan menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh si subjek yaitu pengalaman keindahan dalam diri orangnya. Dalam menjalani hidupnya, seorang individu berada lingkup kebudayaan dan terenkulturasi sejak kecil (nature and nurture). Oleh sebab itu sebagai satu pengalaman estetika merupakan salah satu bentuk pranata kesenian dalam masyarakat yang dirasakan, dialami dan dipelajari. Ada beberapa alasan individu untuk mempelajari kesenian sebagai pengalaman estetika. G.E.Moore sebagaimana dirujuk Mudji Sutrisno (1999:83) menyatakan bahwa (a) karya-karya seni, baik yang alami (art by destination) maupun yang buatan (art by metamorphose) sangat berharga sehingga orang mempelajari ciri-ciri khasnya demi karya seni itu sendiri, (b) pengalaman keindahannya (pengalaman mengenai karya-karya seni) itu begitu berharga baik untuk kelompoknya maupun masing-masing anggotanya sehingga karya seni itu mesti dipelajari dengan cara dari sudut pandang apakah kualitas-kualitas karya ini mencapai tujuannya, dan (c) pengalaman ini sangat bernilai bagi diri sendiri sehingga membutuhkan pengujian dan penelitian mengenai kualitas-kualitas karya seni itu. Dapat disimpulkan bahwa berkontemplasi penuh kagum pada keindahan merupakan salah satu nilai masyarakat berbudaya.
Dalam kehidupan sehari-hari, sebuah karya seni akan memiliki cakupan dalam konteks, yaitu konteks religius/ritual, konteks upacara baik upacara untuk negara maupun keluarga. Hal ini memiliki keterkaitan dengan cultural context. Selanjutnya menurut kajian teoritik, teori neo-representational yang lebih banyak dianut oleh seni-seni modern yang di dalamnya terdapat beberapa konsep yaitu (a) unconditional representation, (b) lexical representation, (c) conditional specific representation, dan (d) conditional generic representation. Pada konsep yang pertama, suatu representasi tidak perlu dikondisikan karena sudah terdapat pemahaman tentang objek yang dilihat, misalnya dengan melihat wanita dengan senyum khas, orang sudah dapat memahami bahwa yang dihadapi adalah lukisan Monalisa. Pada konsep yang kedua, perlu ada pemahaman kode-kode tertentu, misalnya perlu ada pemahaman kode atau simbol tentang kain poleng yang menghiasi tokoh Bima, atau perlu memahami perbedaan tari Jawa seperti Bedhaya Srimpi yang mengimplikasikan kode-kode kraton, dan tarian Gambyong yang mengimplikasikan kehidupan masyarakat di luar kraton. Dapat pula tari dengan kode atau tanda ini tarian putra, putri. Dalam konsep ketiga perlu ada pemahman bentuk-bentuk karya seni yang merupakan bagian dari unsur narasi yang berarti harus memahami kerangka wacana yang melingkupinya. Suatu karya seni bagi masyarakat merupakan aspek ritual bagi kehidupannya, sedangkan bagi pandangan luar hanya sebagai seni. Sebagai contoh sebagaimana dinyatakan RM Soedarsono (1999:18) ada sebuah tari yaitu tari Calonarang yang dipentaskan pada upacara Odalan. Hal ini sebagai art by destination sementara bagi wisatawan yang ingin menikmati pertunjukan mengalami kesulitan. Sama halnya di Jawa, untuk dapat menikmati sendratari Anoman Duta, maka wacana Ramayana harus benar-benar dikuasai. Hal ini banyak terjadi pada beberapa bentuk tari yang memiliki dasar kepercayaan dan sistem religi masyarakat maupun atar belakang budaya etnis yang bersangkutan. Sedangkan konsep yang keempat adalah penikmatan keindahan berdasarkan representasi yang dihadirkan secara generik, seperti untuk dapat memahami keheningan rumah pendhapa keluarga Bangsawan Jawa dengan menghadirkan suara burung perkutut , dan sebagainya.
Pengalaman estetik dalam setiap individu atau komunitas tertentu memiliki beberapa unsur pokok. Hal ini berkaitan dengan pengenalan manusia secara mendasar mengingat pengalaman estetik merupakan sesuatu yang khas manusiawi. Unsur-unsur atau ciri-ciri khas pengalaman estetis sebagaimana dikemukakan Mudji Sutrisno (1999:14-15) adalah (1) terpenuhinya kebutuhan pokok manusia sebagai dasar penikmatan atau memberikan waktu luang terhadap penikmatan pengalaman estetik, (2) adanya rentang waktu pemerolehan pengalaman estetik, apakah diperoleh sebagai hal yang selalu berulang-ulang (pengulangan) yang membosankan atau sebagai produk massal (kitch). Pengalaman ini tidak langsung disampaikan atau diberikan kepada lain orang, hanya dapat berkembang dalam diri setiap orang, tetapi orang yang mengalaminya dapat membantu seorang temannya untuk memperoleh suatu pengalaman serupa, dan (3) ketika pengalaman estetik mulaiberakhir ada upaya untuk mencari cara pengabadiannya.
C. Kontemplasi Visi Estetik
Sebuah karya seni hadir dalam sebuah proses perenungan atau kontemplasi yang didasarkan atas visi sosial dan kebudayaannya. Dalam perspektif ilmu sosial, Emile Durkheim (dalam Pals, 2001: 152) menyatakan bahwa dalam tatanan dan struktur sosial terdapat kesatuan antara agama dan masyarakat, sedangkan dalam masyarakat selalu tumbuh apa yang disebut dengan lingkungan sosial, kemunduran sosial, gerakan sosial, perubahan sosial dan konteks sosial. Parsons (dalam Beilharz, 2002: 294) juga menggambarkan dalam masyarakat selalu mengarah pada orientasi nilai. Di dalamnya terdapat pola-pola nilai dalam sistem budaya yang mengendalikan norma-norma sistem sosial yang kemudian mengendalikan motif-motif dalam sistem personalitas yang mengendalikan sistem baru yaitu relasi antara organisme-organisme yang berperilaku dan pada akhirnya menjadi sistem dengan lingkungan fisiknya. Sementara itu Cassier (1987) menyatakan bahwa sistem simbol, kesenian berfungsi menata pencerapan manusia yang terlibat di dalamnya. Pandangan di atas tentunya membawa implikasi /mengkondisikan masyarakat dalam visinya termasuk dalam pranata kesenian, termasuk di dalamnya dalam ekspresi visual art maupun dalam performance art. Kesenian menjadi pedoman bagi terwujudnya suatu komunikasi estetik antara pencipta atau penampil seni dengan penikmat atau pemanfaat seni melalui karya seni yang diciptakan dalam ruang lingkup kebudayaan yang bersangkutan (Wuthnow, dalam Rohidi, 2000:30).
Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan selalu bermula dari agama yaitu dari rasa religius manusia. Sebagaimana seni tari yang mula-mula tercipta untuk kepentingan ritual yang erat kaitannya dengan religi. Karya seni merupakan sarana dan wujud ekspresi manusia dalam mengungkapkan perasaan “Ketuhanan” yang dinamis sekaligus sebagai rangsangan untuk memaknai kehidupan manusia dengan ciri kemanusiaannya sebagai makhluk yang berdimensi vertikal maupun horisontal. Religiusitas yang bersifat imanen (Djuretna,1994: 16) memberikan pengalaman batiniah yang sangat personal sehingga nilai estetik dapat menimbulkan katarsisi bagi masyarakat pendukungnya.
Seni yang muncul dari rakyat sebagai kesenian rakyat merupakan perwujudan pengalaman hidup baik secara spiritual maupun sosial sehingga karya-karyanya pun mengekspresikan perenungan atau kontemplasi visi estetiknya. Sebagai contoh masyarakat Jawa yang menjadikan wayang kulit sebagai inspirasi etika dan estetika pada dasarnya merupakan penggambaran dunia manusia Jawa yang menurut Niels Mulder (1997:157) disebut dengan istilah Wayang Ethics sebagai bagian dari General co-ordinates of Javanese ethics. Ideologi tentang sangkan paring dumadi dapat terekspresikan dalam cerita Dewa Ruci melalui tokoh Bima dan Dewa Ruci. Demikian pula keyakinan terhadap penguasa laut selatan Nyai Roro Kidul menimbulkan beberapa ekspresi misalnya upacara adat sedekah laut bagi beberapa daerah pesisir selatan Jawa, bahkan keterkaitan pendiri Mataram Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul memberikan pengaruh terhadap arsitektur Sanggabuwana di Kraton Surakarta dan estetika tarian Bedhaya Ketawang yang menggambarkan hubungan asmara antara penguasa laut selatan dengan penguasa Kraton Jawa. Estetika budaya material seperti keris dengan keindahan ornemen ukir maupun perwujudannya sebagais enajat tidak lepas dari gambaran ritual masyarakat Jawa.
Di Malang Jawa Timur terdapat kesenian yang khas yaitu Wayang Topeng Malang yang sudah ada sejak zaman Singasari. Kesenian ini berkembang dengan pesat sampai pada Malang dipegang oleh para Bupati sebagai kesenian rakyat dan disuguhkan pada acara-acara adat dan menyambut tamu. Berdasarkan kepercayaan masyarakat, seni ini tersebar di pegunungan Tengger (wilayah Malang sampai Lumajang) karena adanya keyakinan bahwa di daerah pegunungan Tengger tidak diperbolehkan menggelar wayang kulit karena puncak Gunung Semeru dianggap sebagai tempat Dewa dan leluhur Pandawa. Oleh sebab itulah mereka menganggap kurangetis bila menggelar wayang kulit, sehingga wayang topeng Malang dipagelarkan sebagai visi sarana menghormati dan mengenang raja-raja di Kadiri, Singasari dan Majapahit (Jawa Timur). Dengan demikian wayang topeng Malang mengkontemplasikan “ moral kebatinan” masyarakat setempat yang keberadaannya sebagai sarana upacara ritual. Meskipun demikian saat ini mengalami perubahan dari “art by destination” ke arah “art by metamorphosis” yang menjadikan wayang topeng telah menjadi seni hiburan dan sarana pariwisata.
D. Tengger : Ritual dan Seni Rakyat “Art by Destination”
Masyarakat suku Tengger mendiami wilayah di pegunungan Tengger, anak gunung Bromo dan Semeru, kurang lebih 750 sampai 2500 meter di atas permukaan laut yang terbagi dalam penduduk yang mendiami di lereng bawah dan lereng atas. Sebenarnya masyarakat Tengger adalah masyarakat Jawa (wong Jawa) sebagaimana diungkapakn Robert W. Hefner (1982:4) bahwa ……”like other Javanese, they call themselves “Javanese people” (wong Jawa). Only on certain occasions do they qualify that identification by also referring to themselves as “Tengger people” (wong Tengger)….”. Selanjutnya dikatakan pula (1982:7) …” Tengger are a mountain people, with none of the courts, castes, or litertai of Hindu Bali…”. Penduduk Tengger mendiami wilayah yang meliputi Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Penduduk yang berada di pegunungan atas disebut dengan ‘orang gunung/wong gunung’ dan yang berada di dataran rendah disebut dengan ‘orang ngare/wong ngare’. Bahasa yang digunakan masyarakat Tengger adalah Bahasa Jawa Dialek Tengger atau Bahasa JawaTengger, yaitu bahasa Jawa yang masih mempertahankan beberapa kosa kata Jawa Kuno. Bahasa ini memiliki dua ragam yaitu bahasa pergaulan sehari-hari dan bahasa untuk japa mantra yang berkaian dengan upacara-upacara tradisional. Masyarakat Tengger pada umumnya bertani dengan produksi sayur-sayuran. Masyarakat Tengger memeluk agama Hindu dan sangat taat melaksanakan adat istiadat dan upacara religi secaraturun temurun warisan dari nenek moyang, khususnya pasca keruntuhan Majapahit. Nancy Hefner (1985) menulis bahwa Tengger telah ada pada awal abad ke-10 seperti pada prasasti Tengger yang terbuat dari batu berangka tahun 851 çaka atau tahun 929 masehi yang menyebutkan adanya sebuah desa yang bernama Walandit di pegunungan Tengger sebagai tempat suci karena dihuni oleh “Hulun Hyang” atau abdi dari dewa dan dewi agama Hindu. Kehidupan masyarakat Tengger juga dipengaruhi oleh mitologi yang menyatakan bahwa masyarakat ini adalah keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger dari Kerajaan Majapahit yang merupakan cikal bakal masyarakat Tengger serta membawa agama Hindu-Buddha. Pertemuan antara agama Hindu-Buddha dan kepercayaan animisme-dinamisme masyarakat inilah yang mengkondidikan timbulnya tradisi dan adat istiadat yang khas pada masyarakat Tengger. Sebagai pemeluk agama Hindu, masyarakat Tengger memiliki banyak upacara tradisional yang berkaitan dengan sistem kepercayaannya. Misalnya upacara yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat adalah upacara hari raya Karo, Pujan Kapat, Pujan Kapitu, Pujan Kawolu, Pujan Kasanga, Hari Raya Yadnya Kasada, dan Unan-unan. Upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang, misalnya pada :Kelahiran terdapat upacara Sayut, cuplak puser, tugel kuncung, Perkawinan dengan upacara Walagara, Kematian degan upacara sedekah, entas-entas, andeg-andeg klakah, menduduk, kayopan agung, nglukat dan wayon. Sedangkan upacara adat yang berhubungan dengan siklus pertanian, mendirikan rumah dan gejala alam, misalnya upacara leliwet, mendirikan rumah dan barikan. Masyarakat Tengger memiliki keyakinan tentang keserasian antara manusia dengan alam, dengan memberi makna khusus terhadap hutan. Tetapi, sejak kawasan Tengger dijadikan kawasan Taman Nasional Gunung Bromo-Tengger-Semeru, maka terjadi perubahan budaya pada masyarakat. Demikian pula, ketika pemerintah propinsi Jawa Timur menetapkan kawasan Gunung Bromo sebagai kawasan pariwisata unggulan Jawa Timur maka dampaknya adalah terjadi perubahan sosial. Misalnya di daerah Ngadisari, banyak berdiri hotel, resort, penginapan, serta beberapa perangkat yang khas daerah wisata. Hadirnya jalan aspal, listrik dan telepon, menjadikan daerah ini bukan lagi daerah terpencil. Selain itu penetrasi kebijakan politik dan pembangunan masyarakat menjadikan perubahan sosial, misalnya di bidang kesehatan, pendidikan, agama, lembaga sosial, demografis/ kependudukan dan ekonomi.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sayur dan peternakan, serta dengan adanya perubahan sosial banyak juga yang bekerja di sektor jasa, pariwisata dan pemerintahan, juga sangat dekat dengan kehidupan kesenian, baik seni tradisional maupun seni populer. Seni tradisional sangat terkait dengan upacara-upacara keagamaan dan seni populer sangat terkait dengan mobilitas penduduk, pariwisata dan transformasi telekomunikasi seperti radio dan televisi yang menyajikan berbagai alternatif hiburan. Sebagaimana diungkapkan oleh Robert W. Hefner ( 1999:60-61) sebagaimana diadopsinya dari Pigeaud (1932) bahwa Tengger tidak pernah efektif di bawah kekuasaan Jawa Tengah dan Kolonial Belanda pada 1743, sehingga bentuk-bentuk kesenian khas Jawa Tengah seperti wayang kulit dan wayang orang kurang populer dibandingkan kesenian lokal yang lebih kasar. Dengan adanya perubahan sosial budaya tentu terdapat kondisi yang berubah sebagai dampak kebijakan politik, pariwisata, demografis yang pada akhirnya kehidupan berkesenian masyarakat juga mengalami perubahan. Kalau semula terdapat seni-seni yang bersifat sakral karena berkaitan dengan upacara-upacara agama dan adat istiadat, dengan adanya mobilitas penduduk dan pariwisata serta beberapa fasilitas modern seperti listrik, transportasi, dan telepon memungkinkan semakin populernya seni-seni populer yang bersifat non sakral. Seni tradisional yang dianggap sakral misalnya seni tari sodoran dan seni tari ujung yang hidup sejak zaman Majapahit selalu menyertai upacara adat Karo. Seni sastra yang sakral adalah masih dipertahanannya mitologi Tengger seperti mitologi Ajisaka, Kawah Bromo, asal mula nama desa, asal mula Yadnya Kasada, dan mitologi asal mula upacara unan-unan. Sedangkan seni non sakral adalah seni populer masyarakat. Saat ini yang mendiami kawasan Tengger sudah tentu bukan saja penduduk asli Tengger tetapi beberapa pendatang misalnya dari Madura maupun masyarakat di dataran rendah yang membuka usaha di bidang jasa dan pariwisata. Dampak yang tampak adalah struktur demografis yang berubah baik di bidang pekerjaan, agama, pendidikan, status perkawinan , kepemilikan lahan, hubungan sosial dan peran-peran domestik dan publik pada pria dan wanita. Hal ini juga meng-implikasikan pada bergesernya pemaknaan pada apresiasi seni masyarakat. Nilai seni sakral sejauh mana dapat dimaknai dan sejauh mana seni berciri “profan” menjadi nilai-nilai baru (menurut istilah Hefner, 1982: 665 adalah modes of cultural transmission.) pada masyarakat dalam konteks perubahan sosial dan budaya.
Seni masyarakat Tengger yang berupa seni tari maupun bentuk ekspresi yang lain baik berupa hiasan sesaji, atau beberapa bentuk tradisi lisan, semua bersifat ritual dan sakral, sehingga seni masyarakat Tengger merupakan art by destination. Dua tarian yang mengiringi berbagai upacara ritual adat adalah tari Sodoran dan Tayub. Tarian Tayub yang sama dengan tayub-tayub lain di Jawa adalah tarian yang dilakukan oleh seorang datau lebih wanita dengan diiringi musik dengan para pemusik pria. Kalau di daerah Jawa yang lain, Tayub memiliki konotasi tarian rakyat, yang dipentaskan saat terdapat hajat keluarga atau ada pula yang “mbarang” keliling (travelling show). Tayub tak jarang pula dikonotasikan dengan adegan erotik penari dengan beberapa orang pria yang turut menari (ketiban sampur) dengan membayar secara “pelecehan seksual” misalnya menyelipkannya di balik penutup dada penari. Tetapi Tayub yang dipagelarkan di Tengger yang selalu menyertai upacara adat adalah tarian di alam terbuka dengan penari wanita dan pengiring musik berirama pelog khas Jawa Timuran. Dengan demikian Tayub yang sementara di daerah lain telah menjadi “artby metamorphosis”, di Tengger Tayub masih sebagai “art by destination” Penelitian yang pernah dilakukan Robert W. Hefner (1982), Tayuban bagi masyarakat Tengger merupakan bagian dari Ritual Arts. Biasanya Tayuban ini dipentaskan bersamaan dengan seni Ludruk untuk upacara adat entas-entas (diangkat, disucikan, yaitu arwah orang yang dianggap belum sempurna akan disucikan terlebihdahulu melalui upacara entas-entas). Di sini terdapat fenomena yang menarik, yaitu kesenian Ludruk. Ludruk merupakan seni pertunjukan khas Jawa Timur yang berkembang di daerah-daerah sebelah timur aliran kali Brantas, dan umumnya sebagai seni pertunjukan hiburan. Dengan demikian terdapat transmisi budaya dari dataran rendah ke dataran tinggi. Sesampai di dataran tinggi Ludruk yang semula sebagai performing arts rakyat untuk pertunjukan hiburan menjadi ritual arts. Ludruk mengalami transmisi budaya dan pergeseran kontemplasi visi estetik. Sedangkan Tari Sodoran merupakan satu-satunya tarian yang terdapat di Tengger dan tidak pernag diijadikan tari yang umum di Jawa Timur.
Tari Sodoran adalah sebuah tarian sakral khas Tengger yang bermakna memperingati asal-usul terjadinya manusia. Sehari sebelum acara tarian Sodoran dilaksanakan, masing-masing desa tradisional di wilayah Tengger mengadakan acara “menduduk” yaitu menyembelih kambing atau sapi untuk kepentingan upacara. Pada tanggal 14 hitungan kalender Caka Tengger bulan (sasih) Karo (kedua) daiadakan acara reresik desa yaitu kebersihan lingkungan di sekitar lingkungan masing-masing rumah dengan tujuan agar tidak ada godaan yang mengganggu warga desa. Istilah sodoran bukan berarti sodoran sebagaimana makna dalam bahasa Jawa yang berarti salah satu nama permainan anak-anak, melainkan suatu tarian sakral khas Tengger yang melambangkan asal-usul manusia yang berasal dari Sang Hyang Widi dan kembali kepada-Nya. Tarian Sodoran terdiri dari para pemain yaitu Ratu I dan Ratu II atau disebut juga dengan Wali dan ini dimainkan oleh Petinggi (setingkat Kepala Desa/Lurah) dari 2 desa. Pemain yang lain adalah Tuan Rumah yang diperankan oleh Petinggi dari desa yang kebetulan mendapat giliran tempat pementasan. Pemain pembantu lain berjumlah 15 orang atau lebih dengan pemeran dan beberapa pemain dengan nama-nama lokal yaitu: saksi, pemegang payung, pengawal putih, pengawal merah, pengawal kuning, pengawal hitam, senopati, kebolengan, dukun, prentah, tunggur, kertijoyo, wong sepuh, legen, dan umat yang dimainkan oleh pamong desa dan beberapa penduduk Tengger.
Tarian Sodoran memiliki kelengkapan panggung yaitu 7 buah kursi, sesaji (sajen), dan serbang (yaitu tempat alat-alat yang digunakan untuk perlengkapan tarian seperti jimat klontongan, sodor, dsb.) yang didalamnya berisi gayung yanng terbuat dari tempurung kelapa, sarak atau tanduk kerbau, sodor yaitu tombak dari bambu dengan ujung diberi serabut kelapa dan diisi palawija, tumbu dengan isi baju ontokusumo serta uang logam kuno, cepel (periuk tanah liat) dan banyu windu (air bermantra dari Gua Widodaren). Tarian sodoran diiringi musik karawitan dari alat musik Jawa seperti kendang, peking, saron, bonang, kenong, gambang, slenthem, dan gong, semua dengan nada pelog. Pemilihan alat-alat musik tersebut didasarkan makna yang terkandung di dalamnya yang diyakini masyarakat, misalnya bonang berarti babonan sing menang yaitu siapa yang akan menang adalah orang yang cerdik dan perkasa dalam berkarya, dsn. Adapun iringan yang dimainkan selama tari Sodoran berlangsung adalah gending Jaten dibunyikan saat acara mekakat (pembukaan) dan ondrowino (istirahat)., gending rancakan dibunyikan saat ratu, Legen, Umat dan lain-lain sedang nyarak (memegang tanduk kerbau), gending titir, dibunyikan saat penari akan nyodor yaitu membawa sodor dan saling bersimpangan, serta gending surobalen, yaitu musik pengiring saat para wanita mengirim makanan kepada para penari dan tarian berakhir.
Dalam pelaksanaan upacara adat Karo ini setiap rumah diwajibkan mengirimkan tumpeng bandungan ke rumah kepala desa atau petinggi. Sebelum tumpeng tersebut di “kauman” atau dimakan bersama dimantrai terlebih dahulu oleh dukun selaku pemimpin upacara adat. Selain disediakan tumpeng bandungan, juga dibuat tumpeng ijen (ijen= satu buah) dan tumpeng gede. Setelah acara Karo masyarakat melaksanakan saling mengunjungi sesama masyarakat dengan menghndangkan berbagai makanan dan minuman.
Gambaran di atas merupakan sebuah objek estetik yang mengekspresikan proses interpretasi sistem nilai dan sistem kepercayaan yang merupakan hal mendasar. Estetika ini sebagai wadah dan penjaga sistem nilai dan sistem kepercayaan yang menjadi pilihan wahana perubahan (transmisi budaya). Roy Sieber (1971:206) menyebut dengan istilah reference to the traditional arts yang terwujud dalam gaya, motif, dan keterampilan (skills) yang hasilnya bisa berupa keyakinan dan sinkretisme.Visi estetik berciri seni rakyat pada masyarakat Tengger ini berdasarkan perilaku yang berpola yang ada dalam kelompok tertentu yang anggota-anggotanya memiliki makna yang sama serta simbol yang sama untuk mengkomunikasikan makna tersebut. Makna terwujud dalam sistem simbol budaya mereka seperti bahasa yang berciri Jawa Kuno (tanpa strata sebagaimana bahasa Jawa yang lain), pakaian, dan seni yang secara bersama-sama terwujud dalam pranatanya. Istilah-istilah lokal seperti cikal bakal (asal mula/pendiri), roh bau reksa (roh yang menguasai desa) , roh leluhur (roh leluhur), sajenan (sesaji), sanggar pamujan/poten (tempat bersembahyang),japa mantra (doa-doa), memberikan warna dalam perilaku berpola yang telah merupakan kebiasaan dan hal ini dimanfaatkan sebagai penghubung antara struktur dan fungsi kebudayaan mereka yang dikomunikasikan secara simbolis. Masing-masing simbol baik bahasa, pakaian dan kesenian mereka menghubungkan pranata sosial, perwujudan fungsi religius dan fungsi tersembunyi yang hanya dipahami menurut pengalaman mereka (emik). Dapat dikatakan keyakinan atau belief yanng merupakan salah satu bagian sistem ideologis dan merupakan wujud inti kebudayaan mereka merupakan unsur yang membentuk religi. Seni yang mereka produksi sebagai Ritual Arts pada dasarnya merupakan pemaknaan mereka terhadap makna atau hakikat kehidupan. Dalam sebuah kategori sosial dapat dimungkinkan masyarakat Tengger tidak memaknai apa yang mereka ciptakan atau hasilkan sebagai sebuah karya seni melainkan kebiasaan adat yang harus dilaksanakan, sedangkan dari sudut pandang orang luar, hal tersebut merupakan kegiatan dan hasil karya seni. Hal ini menunjukkan adanya sinergitas antara seni dan kebudayaan yaitu (1) adanya satu pertanyaan dalam melihat seni budaya lain seperti meskipun sama-sama berlatar belakang genetis Jawa, antara “wong Jawa” dengan “wong Tengger” antara “wong Gunung” dengan “wong Ngare” memiliki interpretasi, apresiasi dan pemahaman yang berbeda dalam cita rasa keseniannya, (2) pemahaman kesenian yang berbeda antara “kita” dengan “mereka”, (3) seni (Art) bagi “kita” memiliki kesamaan atau tidak dengan masyarakat, sebagaimana melihat “keris” bagi orang Jawa yang kejawen bukan karya seni melainkan bagian dari sistem kepercayaan, ritual, dan pelengkap pakaian adat, simbol sosial, dll. Tetapi bagi orang lain mungkin sebagai benda seni yang eksotik. Demikian pula dengan tari “Tayuban” yang ternyata memiliki pemahaman yang beda antara “wong Jawa” dengan “wong Tengger”. Sebagian besar “wong Jawa” memandang Tayuban sebagai tari pergaulan, tari kesenangan sebagaimana dansa orang Eropa antara laki-laki-perempuan, yang di desa-desa tertentu identik dengan minuman keras, seks, dan “sawer” atau pemberian uang yang diselipkan di dada penari perempuan. Sementara itu di Tengger justru sebagai bagian dari “Ritual Arts” karena mengiringi upacara adat.
Dalam kondisi perubahan sosial dan budaya, Tengger bukan lagi daerah yang terisolasi, mengingat secara ekonomi, hasil pertanian masyarakat Tengger dipasarkan di kota-kota di dataran rendah dan luar Jawa, serta potensi pariwisata dan upacara adat Kasada yang dijadikan kalender pariwisata pemerintah propinsi Jawa Timur secara sosial politik telah memicu timbulnya Kawasan Tengger sebagai daerah yang potensial untuk timbulnya migrasi dari daerah sekitarnya, misalnya penduduk keturunan Madura dan Jawa dengan latar belakang budayanya, serta dijadikannya kawasan ini sebagai daerah konservasi alam, maka jelas masyarakat Tengger pun mengalami perubahan sosial budaya. Dalam bidang kesenian, para pendatang membawa bentuk kebudayaan konsumen seperti televisi, dipagelarkannya seni pertunjukan modern seperti musik dangdut, siaran sinetron televisi, dan lain-lain sudah tentu membawa dampak orientasi cita rasa serta dukungan partisipatoris masyarakat terhadap seni baik tradisional maupun modern dan pada akhirnya hal ini menentukan apresiasi dan perkembangan kebudayaan masyarakat.
E. Penutup
Max Weber menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang terjebak dalam jaringan makna atau web of significance yang dibuatnya sendiri. Oleh sebab itulah dalam bidang kesenian pun ada pemahaman, apresiasi, interpretasi antara menurut pemahaman “kita “ dan “the others”. Sebagaimana seni di berbagai belahan nusantara, di Tengger pun seni sangat berkaitan dengan ritual keagamaan. Hal ini sangat berkaitan dengan pandangan seni bagian dari sistem religi. Religi atau salah satu pembentuk religi (simbol) adalah keyakinan (belief). Dalam suatu upacara ritual masyarakat pendukung kebudayaan yang terkait dengan sistem keyakinan (belief), religi secara menyeluruh akan terbentuk. Ritual Arts merupakan salah satu bentuk kontemplasi visi estetik masyarakat dengan pemahaman religi. Dalam setiap religi konsep “mbau reksa” dan roh leluhur merupakan spiritual being dan kekuatan tak nyata (impersonal power) yang diyakini berada di sekitar kehidupan manusia yang harus diseimbangkan dengan berbagai kegiatan yang salah satunya melalui ekspresi kesenian dan suguhan kesenian (art performance). Keterkaitan antara sistem keyakinan dengan ritual arts ini dapat diargumentasikan melalui pendapat sebagaimana dikemukakan Emile Durkheim, bahwa sebagai keterkaitan sekalian orang pada sesuatu yang dipandang sakral yang berfungsi sebagai simbol kekuatan masyarakat dan saling ketergantungan orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan. Durkheim juga menyatakan bahwa model sejati mitos bukan alam tetapi masyarakat. Mitos sebagai proyeksi kehidupan sosial manusia. Termasuk dalam hal ini tentunya kehidupan manusia dalam kesenian.
Pendapat Wallace(1966) sebagaimana diungkapkan kembali oleh Radam (2001:10-11) bahwa religi adalah serangkaian upacara yang mengarah kepada sejumlah kekuatan adikodrati bertujuan memperoleh suatu transformasi keadaan atau mempertahankan keadaan itu dalam diri manusia dan alam. Roy Sieber (1971:206) menyebut sebagai reference to the traditional arts yang didalamnya terdapat gaya, motif dan skils dan hasilnya berupa keyakinan dan sinkretisme. .Sedangkan upacara itu sendiri terdapat lima macam yaitu sebagai teknologi, sebagai terapi atau anti terapi, sebagai kontrol sosial, sebagai jalan menuju keselamatan, dan sebagai revitalisasi, maka visi estetik masyarakat Tengger yang terkontemplasi dari keyakinan dan ritusnya, merupakan jalan menuju keselamatan. Kata “slamet” merupakan kata kunci bagi orang Jawa, seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1969; 1986) bahwa “slamet” merupakan nilai yang mendasar bagi semua lapisan masyarakat Jawa tradisional ( seperti masyarakat Kejawen, Jawa akulturalik Islam-Hindu-Buddha, Jawa-Tengger, dan abangan) sebagai nilai integratif yang mengatasi kerawanan, kerumitan, konotasi aman, tenang, bebas dari gangguan dan sikap diam.
BIBLIOGRAFI
Anonimous. 1919. Das Bromo Opfer der Tenggeresen. Kumpulan Fotografi Tanpa teks.
Beilharz, Peter. 2000. Teori-teori Sosial Observasi Kritis terhadap para filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cassier, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.
Ciptoprawiro, Abdullah. 2001. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Colleta, J. dan Umar Kayam (Ed). 1987. Kebudayaan dan Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor.
Djuretna A Imam Muhni. 1994. Moral dan Religi. Yogyakarta: Kanisius.
Djoko Damono, Sapardi. 1987. Beberapa Catatan Kongres Kebudayaan I,II dan III. Evaluasi dan Strategi Kebudayaan. Jakarta: UI Depok.
Geertz, Clifford. 1969. The Religion of Java. New York: The Free Press.
Geertz, Clifford. 1986. Mojokuto. Jakarta: Grafiti Press.
Hefner, Robert William. 1982. Identity and Cultural Reproduction among Tenggerese Javanese. Disertasi. Universitas Michigan.
Hefner, Robert William. 1983. Ritual and Cultural Reproduction in Non Islamic Java. American Ethnologist The Journal of the American Ethnological Society. Volume 10 Number 4 November 1983. P. 665-681.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Jakarta: MSPI.
M. Otten, Charlote. (ed.) 1971. Anthropology and Art. New York: The Natural History Press.
Magnis Suseno, Franz. 1997. Javanese Ethics and World-View The Javanese Idea of The Good Life. Jakarta: Gramedia.
Maquetm Jaques. 1986. The Aesthetic Experience An Anthropologist Looks at the Visual Arts. New Haven: Yale University Press.
Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam.
Radam, Noerid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Semesta.
Santayana, George. 1962. Reason in Art.New York: Coolier Books.
Suyitno. 1990. Mengenal Upacara Tradisional Masyarakat Suku Tengger. Surabaya: Satu buku.
Sedyawati, Edi (Ed.) 1999. Performing Arts Indonesian Heritage. Singapore: Archipelago Press.
Sutrisno, Mudji. 1999. Kisi-kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius.
Soedarsono, RM. 2000. Seni Pertunjukan dan Pariwisata. Jakarta: MSPI.
TUGAS SEMESTER II
MATAKULIAH TEORI ESTETIKA INDONESIA
PROF. DR. I WAYAN DIBIA, SST.,MA.
SENI RITUAL SEBAGAI KONTEMPLASI AESTHETIC VISION
(Ritual Arts di Lingkungan Masyarakat Tengger di Jawa Timur)
Arif Budi Wurianto
0213037108
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTOR S3 KAJIAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
April 2001